PENGENALAN
LINGKUNGAN PERAIRAN
Lingkungan
perairan memiliki kisaran yang luas, mulai mata air di puncak gunung hingga
perairan laut dalam, di samping memiliki ukuran luasan dan volume yang beragam.
Lingkungan tersebut meliputi lingkungan air asin, air payau serta air tawar.
Pengelompokan tersebut terutama didasarkan pada kandungan garam seperti yang
ditunjukkan dalam table 1.
Tabel
1 Klasifikasi air berdasarkan kadar garamnya
Sebutan
|
Salinitas (o/oo)
|
Hyperhaline
Euryhaline
|
<40
30-40
|
Polyhaline
Mesohaline a
Mesohaline b
Oligohaline
|
18-30
10-18
1.84-10
0.21-1.84
|
Air tawar
|
<0.21
|
Luas perairan
umum/tawar Indonesia sekitar 50 juta hektar (ha), yang meliputi danau, sungai,
rawa-rawa, waduk, sawah dan genangan air lainnya.
Berbagai faktor
abiotik mempengaruhi kehidupan organisme di perairan, faktor tersebut antara
lain: radiasi matahari, konsentrasi ion H+, suhu, tekanan udara ketersediaan
sumber energi, faktor tumbuh, dan ketersediaan oksigen.
Fitoplankton
merupakan produser primer di perairan. Dengan bantuan sinar matahari,
fitoplankton akan memfiksasi karbondioksida dan mentransformasi karbondioksida
menjadi senyawa karbon organik. Algae berupa fitoplankton dan makroalgae serta
tumbuhan air merupakan organisme ototrof dan produsen primer perairan.
Ketersediaan nutrient seperti N dan P, serta kondisi lingkungan yang
menguntungkan seperti suhu optimum dan cukup cahaya matahari akan mendukung
produksi primer yang tinggi, proses ini disebut fototrofik oksigenik.
Pada lingkungan
perairan fotik tetapi pada kondisi anaerob, fotosintesis anoksigenik dapat
berlangsung dan umumnya dilakukan oleh sianobakteria atau prokaryotic lain
seperti bacteria sulphur. Umumnya mikroba dalam golongan ini menggunakan
sulfida dan sulphur sebagai satu-satunya donor electron karena tidak mampu
menggunakan air sebagai donor electron untuk fotosintesis.
Pada keadaan
turbiditas yang tinggi, sinar matahari tidak mampu mempenetrasi perairan yang
dalam, kemelimpahan fitoplankton terbatas di permukaan (zone fotik). Pada
banyak kasus, turbiditas juga sebagai akibat dari kemelimpahan plankton pada
kolom air. Di perairan laut, hanya area perairan pantai memiliki kecukupan
nutrient yang berasal dari darat, sehingga perairan pantai memiliki
produktivitas yang tinggi.
Jaring-jaring
makanan di perairan dimulai oleh produser primer yaitu algae (fitoplankton),
pada tingkatan predasi pertama dimulai oleh mikrofauna yaitu zooplankton
dilanjutkan oleh predator dari kelompok hewan yang lebih besar. Bakteria
heterotrofik pada habitat air akan menggunakan bahan organik terlarut baik yang
berasal dari fitoplankton maupun jasad lain sebagai sumber nutrient, bacteria
sendiri menjadi target konsumsi mikrofauna.
Zone bentik
(benthic zone) merupakan peralihan antara kolom air dengan permukaan sedimen atau
dasar perairan. Zone tersebut merupakan tempat akumulasi nutrient yang berasal
dari kolom air atau dari aliran air dari darat. Pada zone bentik terjadi
campuran bahan organik, mineral dan air sehingga merupakan tempat yang sangat sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Pada zone
bentik, populasi mikroba dapat mencapai lima kali populasi mikroba pada kolom
air, tergantung jumlah dan macam nutrient yang tersedia serta kandungan
oksigen. Makin dalam kedudukan zone bentik, makin kekurangan oksigen. Pada
lapisan air yang dalam, zone bentik dapat bersifat anaerob. Jika zone tersebut
menjadi anaerobic, mikroba anaerobic akan berperan dan menggunakan nitrat,
sulfat atau besi sebagai akseptor electron primer. Pada zone bentik yang dalam,
bacteria metanogenik merupakan komponen mikroba utama.
A.
Perairan Laut
Perairan
laut sangat beragam sebaran geografis, kedalaman serta sifat fisika-kimianya.
Perairan laut ditandai oleh tingkat salinitas >32% serta kedalaman hingga
11.000 m. Arus, pasang surut air, angin, suhu serta dasar laut yang tidak rata
menyebabkan gerakan air laut terutama dipermukaan. Secara umu perairan laut
dibagi sebagai zone fotik (lapisan air yang mendapat sinar matahari) dan zone
afotik yaitu lapisan air dengan sinar matahari tidak dapat menembus. Zone fotik
dapat mencapai kedalaman 200 meter, tergantung turbiditas air.
Berdasarkan
habitatnya, organism yang hidup di perairan laut dibedakan menjadi empat: a. Neuston yaitu organisme yang hidup pada
zone interface air dan udara, b. Pelagic
atau plankton yaitu organisme yang hidup pada kolom air atau dikatakan pada
habitat planktonik, c. Epibion yaitu
organisme yang hidup pada substrat atau permukaan benda di badan air laut
(epibiotik), dan d. Endobion yaitu
organism yang hidup pada jaringan atau tubuh organisma laut (endobiotik).
Beberapa
senyawa seperti nitrit, ammonia, urea, fosfat dan mineral di habitat epipelagik
dijumpai pada jumlah yang sangat rendah. Bahan organik ada dalam jumlah kecil
kecuali ada masukan dari darat, dan sebagian akan mengalami sedimentasi.
Sebagian besar senyawa organik oleh zooplankton akan dicerna sehingga terurai
menjadi senyawa yang lebih sederhana dan mineral, selanjutnya dibebaskan ke lingkungan.
Senyawa-senyawa dan mineral tersebut dengan cepat digunakan oleh fitoplankton
dan bacteria. Dengan demikian habitat epipelagik laut lepas umumnya bersifat
oligotrofik. Bakteria heterotrofik pada habitat epipelagik umumnya memiliki sel
bentuk batang, bersifat Gram-negatif, beberapa spesies memiliki vakuola udara,
sejumlah contoh bakteri heterotrofik tersebut adalah: Alteromonas, Vibrio,
Marinomonas dan Photobacterium. Beberapa bacteria pada habitat epipelagik
sering pula dijumpai sebagai saprofit pada permukaan tubuh ikan atau hewan air
lainnya, misalnya Photobacterium dan Vibrio.
Pada
lapisan mesopelagik, suhu dapat mencapai 0-5oC, dan tanpa cahaya matahari
sehingga tidak memungkinkan berlangsungnya fotosintesa. Pada kolom air ini
partikel organik maupun anorganik merupakan substrat yang baik untuk perlekatan
bacteria. Bahan organik yang ada akan mengalami hidrolisis oleh aktivitas
mikroba heterotrofik dan terjadi mineralisasi. Mineral yang dihasilkan
selanjutnya dapat digunakan oleh fitoplankton dan bacteria pada lapisan fotik.
Pada lapisan mesopelagik ini dijumpai pula aktivitas nitrifikasi, adapun
mikroba yang berperan yaitu:
Nitrosomonas yang mengoksidasi ammonia menjadi nitrit dan Nitrococcus yang
mentransformasi nitrit menjadi nitrat, keduanya hadir dengan perbandingan
sekitar 104:1. Adapun Nitrosolobus dan Nitrospira dijumpai dengan
jumlah yang jauh lebih rendah.
Zone
neritik meliputi perairan dangkal dekat pantai dan zone litoral (zone
intertidal, pasang surut) merupakan lingkungan perairan laut yang memiliki ciri
khas. Zone ini memiliki tingkat degradasi materi organik tertinggi disbanding
zone laut lainnya. Zone ini merupakan zone yang biasa dieksplorasi sumberdaya
perikanannya, baik melalui penangkapan langsung dari alam maupun melalui budidaya.
Kemelimpahan
nutrient dan sinar matahari yang cukup, member kondisi yang menguntungkan bagi
pertumbuhan alga serta tumbuhan air. Hutan mangrove serta terumbu karang juga
dijumpai pada zone litoral dan neritik daerah tropic dan sub-tropik. Pada zone
ini siklus biogeokimia berlangsung dengan intensif. Bakteria yang berperan
dalam siklus N dilakukan baik oleh cyanobacter maupun bacteria, beberapa
diantaranya ada dalam bentu simbiotik, misalnya Azotobacter yang bersimbiotik
dengan alga hijau Codium sp.
Banyak
mikroba yang umum dijumpai pada kolom air zone pelagic juga dijumpai pada zone
neritik dan litoral, misalnya Vibrio spp. dan Photobacterium spp., beberapa
diantaranya bersifat luminesens. Bakteri lainnya hanya dijumpai pada zone
neritik dan litoral, tetapi tidak dijumpai pada zone lain misalnya: Bacillus,
Oceanospirillum, Caulobacter, Cytophaga, dan Capnocytophaga. Kandungan nutrient organik yang tinggi pada
perairan neritik dan litoral menyebabkan aktivitas biodegradasi yang tinggi dan
dapat berakibat penurunan jumlah oksigen. Sebagian komunitas mikroba pada
perairan neritik dan litoral dikenali sebagai spesies-spesies yang sering
merugikan bagi budidaya perikanan, misalnya Vibrio, Salmonella dan Escherichia
coli.
B.
Perairan Tawar
Lingkungan perairan tawar terdiri dari 2 kategori:
a.
Habitat Lentik, yaitu badan air
yang diam seperti danau, kolam
b.
Habitat lotik, yaitu badan air
yang bergerak seperti sungai, mata air
Lingkungan perairan tawar
umumnya lebih kaya nutrient dibandingkan perairan laut. Nutrien ini berasal
dari aliran air permukaan maupun oleh masukan dari aktivitas manusia.
Mata air adalah air bawah tanah yang muncul ke
permukaan bumi. Secara umum dijumpai dalam bentuk mata air panas dan mata air
dingin. Mata air sering kali memiliki kandungan mineral yang beragam dan dalam
konsentrasi yang tinggi misalnya kandungan sulphur dan magnesium, serta sering
pula memiliki sifat kimia yang khas misalnya pH rendah. Dari mata air, air akan
mengalir dan menyatu dengan aliran air yang lain membentuk sungai. Sepanjang
aliran akan mengakumulasi bahan organik dan mineral yang sangat menentukan
komposisi mineral dan kualitas air. Pada
badan air sungai dijumpai mikroba fotosintetik berkisar 10o-1o8
sel/ml, sedangkan fitoplankton populasinya tidak konstan akibat aliran
sungai.
Danau bervariasi kedalamannya, luas area dan
komposisi kimiawinya. Meskipun digolongkan sebagai habitat lentik, tetapi tetap
saja terjadi aliran air masuk dan atau keluar serta gerakan air akibat angin.
Lapisan air danau dengan sinar matahari mampu menembus hingga ke dasar disebut
sebagai lapisan fotik yang biasanya meliputi zone litoral yaitu zone dangkal.
Adapun zone interface antara air dan udara disebut
lapisan neuston yang kaya nutrient.
Permukaan neuston dilapisi suatu lapisan lemak yang sangat tipis (10 nm),
dibawahnya terdapat lapisan protein dan polisakarida dengan ketebalan sekitar
100 nm, kedua lapisan ini membentuk matrik seperti gel pada interfasi
air-udara. Pada lapisan inilah sebagian bacteria menempel.
Adapun zone limnetik yaitu permukaan air terbuka yang
jauh dari zone litoral dengan sinar matahari dengan mudah menembus. Dibawah
zone limnetik terdapat zone profundal dengan hanya kurang dari 1% saja sinar
matahari yang dapat diterima. Adapun
dasar danau beserta sedimen disebut sebagai zone bentik.
Beberapa bacteria yang sering dijumpai pada habitat
air tawar yaitu: Pseudomonas, Flavobacterium, Alcaligenes dan Cytophaga. Pada
air dengan bahan organik tinggi sering pula dijumpai Proteus. Adapun sumber air
yang tercemar feses sering kali dijumpai Legionella, Yersinia dan E. Coli.
Legionella umumnya menyenangi daerah perairan yang mengalalmi polusi panas,
kaya nutrient dan cukup ion besi.
Alga, sianobakteria dan tumbuhan tingkat tinggi berperan
utama dalam produksi primer badan air. Adapun sebagian besar bacteria, protozoa
dan fungi berperan sebagai jasad heterotrofik yang mendegradasi materi-materi
organik di perairan. Phycomycetes merupakan fungsi air yang berperan penting
dalam dekomposisi awal materi-materi sekresi tumbuhan dan hewan air.
Fungi
jarang yang planktonik, umumnya bersifat parasit pada organisme lain termasuk
algae. Sifat parasitic ini merupakan mekanisme pengaturan populasi algae
sehingga memungkinkan kolom air menerima cukup sinar matahari. Salah satu
fungsi parasit pada algae yaitu zoophagus insidians. Sejumlah fungi juga
bersifat parasitic terhadap hewan air, misalnya Saprolegnia dan Lagenidium.
Jenis-jenis protozoa yang sering dijumpai pada
lingkungan perairan tawar antara lain Parameaecium, Acanthamoeba, Stentor dan
Vorticella. Sejumlah protozoa juga dapat
bersifat parasitic terhadap ikan dan hewan akuatik lain yaitu Epistylis dan
sejumlah Dinoflagellata.
C.
Perairan Payau
Perairan
payau merupakan transisi antara perairan tawar dan perairan laut, dijumpai pada
estuarine atau muara sungai. Luasan area dan kadar garam perairan payau
berfluktuasi mengikuti pasang surut air laut, hujan dan pasokan air tawar dari
daratan.
Mengingat karakter perairan estuarine yang merupakan
peralihan antara air laut dan air tawar, maka mikroba yang ada pada area
tersebut merupakan mikroba yang toleran terhadap kadar garam tetapi juga mampu
tumbuh pada kadar garam yang sangat rendah. Beberapa mikroba yang dijumpai pada
perairan payau: Vibrio, Pseudomonas, Chromobacterium, Bacillus, berbagai
spesies Actinomycetes, Sianobacteria, algae, Protozoa, dan Virus.
D.
Lahan Basah (Wetland)
Yaitu
suatu area yang selalu mengalami kondisi basah akibat pengaruh badan air
terbuka (laut, sungai, danau). Lahan basah mempunyai beberpa cirri berupa
adanya air yang tetap (jenuh air) dan ditumbuhi oleh vegetasi yang mampu
beradaptasi atau toleran terhadap tanah yang jenuh air.
Ramsar Convention on
Wetlands (Ramsar Convention Bureau, 1999) : Lahan basah adalah area dari rawa-rawa
(marsh), dataran rendah yang selalu berair (fen), tanah basah yang kaya bahan
organik (peatland) atau perairan, baik alami atau buatan, permanen atau
temporer, dengan air yang statis atau mengalir, air tawar, payau atau laut,
meliputi area perairan laut dengan kedalaman pada waktu air surut terendah
tidak lebih dari 6 meter.
Secara umum lahan basah dibedakan menjadi lahan basah
pesisir atau pantai (coastal wetland) dan daratan (inland wetland).
Pengembangan akuakultur di perairan pantai sering kali
memanfaatkan lahan basah pesisir berhutan mangrove. Kegiatan tersebut sering
kali dilakukan dengan merusak atau membabat hutan mangrove. Untuk keperluan
akualkultur yang berkelanjutan, setiap satu hektar hutan mangrove yang diolah
menjadi tambak, sekurangnya 3 hektar tetap dibiarkan sebagai hutan mangrove.
Selain lahan basah alami
dikenal pula lahan basah buatan, meliputi: kolam akuakultur, lahan irigasi,
lahan pertanian banjiran musiman (seasonally flooded agricultural land), tambak
garam, dam, lahan galian tambang yang terisi air, area pengolahan limbah cair,
kanal dan saluran irigasi.
BAB II. FAKTOR KIMIA,
FISIKA DAN BIOLOGI PERAIRAN
Pada lingkungan perairan, factor fisik, kimiawi dan
biologis berperan dalam pengaturan homeostatis yang diperlukan bagi pertumbuhan
dan reproduksi ikan. Perubahan-perubahan factor tersebut hingga batas tertentu
dapat menyebabkan stress dan timbulnya penyakit.
Faktor fisik antara lain mencakup suhu dan intensitas
cahaya. Faktor kimiawi antara lain meliputi pH, kandungan oksigen terlarut,
karbondioksida, komposisi dan kimia air. Adapun factor biologis meliputi ragam
spesies, predator dan kemelimpahan suatu populasi.
A.
FAKTOR FISIK
1.
SUHU
Ikan
merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh,
sehingga suhu tubuhnya tergantung atau
menyesuaikan pada suhu di lingkungan sekelilingnya. Ikan memiliki derajat
toleransi terhadap suhu dengan kisaran
tertentu yang sangat berperan bagi pertumbuhan, inkubasi telur, konversi pakan
dan resistensi terhadap penyakit. Ikan
akan mengalami stress manakala terpapar pada suhu di luar kisaran yang dapat
ditoleransi.
Kisaran toleransi suhu antara spesies ikan satu
dengan lainnya berbeda, misalnya pada ikan salmonid suhu terendah yang dapat
menyebabkan kematian berada tepat diatas titik beku. Suhu tinggi tidak selalu
berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan gangguan status kesehatan untuk
jangka panjang, misalnya stress yang ditandai dengan tubuh lemah, kurus, dan
tingkah laku abnormal. Pada suhu rendah, akibat yang ditimbulkan antara lain
ikan menjadi lebih rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri pathogen akibat
melemahnya system imun.
Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung
oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah menyebabkan stress pernafasan pada
ikan berupa menurunnya laju pernafasan dan denyut jantung sehingga dapat
berlanjut dengan pingsannya ikan akibat kekurangan oksigen.
Penelitian oleh Kuz’mina et al. (1996) menunjukkan
bahwa aktivitas enzim pencernaan karbohidrase sangat dipengaruhi oleh suhu.
Pada daerah beriklim sedang, aktivitas enzimatik enzim pencernaan dipengaruhi
oleh musim. Pada lingkungan demikian, aktivitas protease tertinggi dijumpai
pada musim panas, adapun aktivitas amylase tertinggi dijumpai pada musim gugur.
Pada kedua macam musim tersebut, umumnya memiliki kisaran suhu sekitar 25oC.
Permukaan air peka terhadap perubahan suhu. Suhu
antara lain dipengaruhi oleh letak geografisnya, ketinggian tempat, lama
paparan terhadap matahari dan kedalaman badan air. Pada air yang mengalir
dengan volume yang besar, misalnya sungai atau air laut, kisaran perubahan suhu
mungkin tidak begitu besar. Perubahan suhu yang mendadak sebesar 5oC
dapat menyebabkan stress pada ikan bahkan kematian.
Peningkatan suhu air dapat menyebabkan penurunan
kelarutan gas-gas, tetapi meningkatkan solubilitas senyawa-senyawa toksik
seperti polutan minyak mentah dan pestisida, serta meningkatkan toksisitas
logam berat. Sebagai contoh, bahwa pada air tawar peningkatan suhu dari 25
menjadi 30oC menyebabkan penurunan kelarutan oksigen dari 8.4
menjadi 7.6 mg/liter.
2.
Cahaya
Pada
badan air alami maupun system budidaya ekstensif, intensitas cahaya hanya dapat
diubah secara tidak langsung melalui pengaturan populasi algae bersel tunggal,
makrofit dan tumbuhan peneduh. Penetrasi cahaya yang buruk antara lain
disebabkan oleh absorben atau polutan yang memantulkan cahaya dan
partikel-partikel dalam air. Ukuran ideal cahaya yang dianggap cukup untuk kolam
atau tambak yaitu apabila mampu penetrasi sekurang-kurangnya pada kedalaman
40-60 cm.
Pada system budidaya intensif, intensitas cahaya,
lama penyinaran, area berkanopi dan penyerapan cahaya lebih mudah dikontrol.
Parameter-parameter ini akan berperan pada laju pertumbuhan dan maturasi ikan.
Pada system intensif berair dangkal, sinar ultra violet cahaya matahari yang
berlebihan dapat menyebabkan gangguan sunburn pada bagian dorsal ikan.
Penetrasi cahaya dapat terhalang oleh turbiditas air
yang disebabkan melimpahnya populasi fitoplankton (algal bloom) dan
partikel-partikel padatan terlarut. Apabila penetrasi cahaya tidak dapat
mencapai dasar kolam atau tambak, akan menghambat tumbuhnya algae berfilamen
dan tumbuhan air pengganggu pada dasar kolam. Sampai batas tertentu melimpahnya
fitoplankton tertentu sangat menguntungkan karena kebutuhan pakan alami
tercukupi. Jika perairan benar-benar jernih, sering pula menjadi indikasi bahwa
lingkungan kolam tersebut miskin fitoplankton sehingga perlu dilakukan
pemupukan.
B.
FAKTOR KIMIA
1.
Gas-gas terlarut.
Gas- gas
terlarut yang berperan penting dalam lingkungan air diantaranya yaitu oksigen
dan nitrogen. Udara mengandung campuran gas-gas yang masing-masing terlarut di
dalam air sesuai dengan tingkat kelarutannya. Kelarutan tersebut ditentukan
oleh:
a.
Tekanan udara total dan parsial
gas-gas dalam campuran udara saat kontak dengan air. Tekanan udara parsial
oksigen yaitu 0.78 dan nitrogen 0.21. Penggunaan pompa air maupun aerator
memungkinkan masuknya oksigen dan nitrogen ke dalam air meningkat. Kondisi air
supersaturated (super jenuh) akan gas oksigen dan nitrogen dapat terjadi oleh
beberapa hal antara lain: penggunaan air sumur atau air dari mata air langsung,
system pompa air, jalur pipa yang terlalu panjang, system air terpanasi atau
adanya kebocoran sambungan pipa atau katup.
Kondisi super saturated dapat menyebabkan penyakit gelembung udara
(gas bubble disease) pada ikan-ikan yang dipelihara di dalam lingkungan
tersebut. Kejenuhan gas 100 – 102% telah menyebabkan masalah pada alevin yang
mulai berenang dan makan untuk pertama kali. Pada kondisi demikian akan terjadi
tingkat mortalitas alevin yang tinggi, ditandai dengan kerusakan insang dan
mata, blue sac disease, infeksi insang oleh Mycobacterium dan emboli.
Untuk mengenali terjadinya super-saturated, salah satu cara yang
mudah yaitu dengan memasukkan tangan ke dalam air. Tanda positif
super-saturated yaitu jika muncul gelembung-gelembung berwarna perak pada
tangan segera setelah tangan tercelup air atau pada dinding tangki pemeliharaan
ikan. Untuk mengatasi gangguan tersebut dapat dilakukan melalui pemberian
aerasi yang cukup.
b.
Kandungan Garam Terlarut
Gas-gas kurang terlarut dalam lingkungan air yang bergaram
(salinitas tinggi), sehingga jika salinitas meningkat maka ketersediaan oksigen
terlarut berkurang.
c.
Suhu
Peningkatan suhu akan diikuti oleh penurunan kelarutan sejumlah
besar gas-gas dalam air.
2.
Parameter-parameter
Fisika-kimia
a.
Produk ionic air
Air
merupakan senyawa yang bersifat basa dan asam lemah sehingga dapat melepaskan
maupun mengikat proton. Konstanta keseimbangan untuk disosiasi air adalah:
KW= (CH+XCOH-)/CH2O=
1X10-7g ion/liter
b.
Nilai pH
Air
hujan pada umumnya bersifat asam akibat kontak dengan karbohidrat dan senyawa
sulphur alami di udara. Sulfur dioksida , nitrogen oksida serta hasil emisi
industry lainnya akan lebih meningkatkan keasaman air hujan. Adapun air murni
bersifat netral (pH 7), pada kondisi demikian maka ion-ion penyusunnya (H+ dan
OH-) akan terdisosiasi pada keadaan setimbang. Setelah air murni bercampur
dengan air hujan dan materi lain dari lingkungan sekitarnya maka perairan alami
akan memiliki pH berkisar 4-9. Ikan dapat hidup pada pH 5.9-9.5, tetapi untuk
budidaya perikanan umumnya berkisar pH 6.7-8.3. Besaran pH selain dipengaruhi
komposisi kimiawi air juga aktivitas biologis yang berlangsung di dalamnya.
Seringkali
pada badan air terjadi fluktuasi pH akibat aktivitas organisma di dalamnya.
Pada perairan yang mengalami eutrofikasi dapat terjadi ledakan populasi algae
(algae bloom), terutama pada siang hari. Pada kondisi demikian maka pH dapat
meningkat tajam menjadi pH 9 atau lebih. Sebaliknya, pada malam hari akan
terjadi aktivitas respirasi yang tinggi maka terjadi penurunan pH. Fluktuasi pH
yang besar akan berakibat pada stress bahkan kematian hewan budidaya. Air laut
banyak mengandung ion Ca dan Mg. Kedua ion ini dapat berperan sebagai penyangga
(buffer) sehingga tidak terjadi fluktuasi nilai pH yang besar.
c.
Efek ion umum
Ionisasi
asam dan basa lemah sangat berkurang dengan penambahan senyawa yang mudah
terdisosiasi. Sebagai contoh yaitu ionisasi ammonium hidroksida akan tertekan
dengan penambahan NaOH yang mendisosiasi ion hidroksil, atau penambahan
ammonium khlorida yang membebaskan ion ammonium. Peningkatan konsentrasi ion
hidroksil harus disertai penurunan konsentrasi ion ammonium untuk menjaga agar
konsentrasi ionic konstan. Hal inilah yang menyebabkan kandungan garam ammonium
pada perairan meningkatkan alkalinitas, sehingga menyebabkan peningkatan
ammonia tidak terlarut yang merupakan molekul toksik bagi ikan.
d.
Alkalinitas karbonat dan
kesadahan
Kesadahan
air merupakan banyaknya garam-garam magnesium dan kalsium yang terlarut yang
digambarkan sebagai mg/liter kalsium karbonat. Air dengan kesadahan rendah
diklasifikasikan sebagai badan air yang mengandung kurang dari 50 mg/liter
kalsium karbonat, adapun air sadah memiliki kandungan kalsium karbonat 300-450
mg/liter.
Secara
umum kesadahan ditentukan oleh konsentrasi Ca dan Mg dengan anionnya berupa
CO-2 dan HCO-3. Biasanya kesadahan dinyatakan dengan kadar MgCaCO3 per liter.
Untuk keperluan budidaya perikanan, kesadahan optimum umunya sekitar 15 ppm
atau lebih. Pada kadar ini tidak diperlukan pengapuran. Akan tetapi jika
kesadahannya kurang dari 15 ppm, maka perlu dilakukan pengapuran agar
produktivitasnya menjadi baik. Pemberian kapur atau batuan kapur (lime= kalsium
hidroksida) ditujukan untuk meningkatkan pH. Kapur juga berperan sebagai
desinfektan.
e.
Keasaman
Pada
perairan tawar yang tidak tercemar, keasaman perairan berasal dari asam
karbonat dan asam-asam organik yang berasal dari tanah, hutan dan rawa-rawa.
Asam-asam mineral dan garamnya yang bersifat basa lemah umumnya dijumpai pada
limbah industry dan limbah pertambangan.
f.
Oksigen
Kebutuhan
oksigen dalam budidaya ikan tergantung pada spesies yang dibudidayakan. Oksigen
diperlukan untuk pernafasan dan metabolisme. Oksigen diperlukan untuk
pernafasan dan metabolisme. Perbedaan struktur molekul darah antar jenis ikan
yang berbeda mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam air dan
derajat kejenuhan oksigen dalam sel darah. Oksigen diperlukan ikan untuk
katabolisme yang menghasilkan energy bagi aktivitas seperti berenang,
reproduksi dan pertumbuhan. Dengan demikian, konversi pakan dan laju
pertumbuhan sangat ditentukan oleh ketersediaan oksigen disamping factor-faktor
lainnya.
g.
Karbondioksida
Pada
perairan umum dan kolam budidaya intensif, karbon dioksida, bikarbonat atau
karbonat terlarut membentuk suatu reservoir karbon untuk fotosintesis tumbuhan
air.
h.
Ammonia
Ammonia
merupakan produk akhir utama katabolisma protein yang disekresikan ke luar
tubuh ikan melalui insang dan kulit dan ikut berperan pada regulasi ion melalui
pertukaran dengan ion Na+. Kehadiran NH3 pada konsentrasi rendah dalam waktu
lama menyebabkan gangguan berupa proliferasi sel-sel epitel insang tidak normal
(hyperplasia).
i.
Nitrit
Nitrit
pada kolam berasal dari sisa metabolisme protein oleh ikan atau hewan air. Pada dasarnya sisa
metabolisme utama berupa ammonia, yang
selanjutnya akan dioksidasi oleh Nitrosomonas menjadi nitrit. Selanjutnya akan
dioksidasi oleh Nitrobacter menjadi nitrat.
Meskipun
toksisitas nitrit melibatkan sejumlah factor lainnya, tetapi pada konsentrasi
0.5 mg/liter telah bersifat toksik terhadap ikan. Ikan akan mengabsorbsi nitrit
melalui insang dan masuk ke dalam darah, selanjutnya nitrit akan mengoksidasi
haemoglobin menjadi methemoglobin yang tidak efisien dalam transport oksigen ke
jaringan sebagai akibatnya akan terjadi hipoksia dan stress respirasi.
Selain
itu, nitrit bersifat vasodilator dan relaktan bagi otot polos, sehingga dapat
menyebabkan gangguan kerja jantung. Umumnya paparan kronik pada nitrit
menyebabkan ikan menjadi rentan terhadap infeksi dan keracunan akibat
konsentrasi methemoglobin yang tinggi sehingga darah dan insang berwarna
kecoklatan.
3.
Polutan
Sejumlah
polutan berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan ikan dan menurunkan kualitas
perairan. Gangguan akibat konsentrasi polutan seringkali dilaporkan sebagai
nilai lethal concentration (LC50) atau lethal doses (LD50), yang berarti
konsentrasi yang menyebabkan kematian 50% pada hewan uji untuk jangka waktu
tertentu (biasanya 96 jam).
a.
Logam dan logam berat.
Keracunan
logam biasanya akibat logam berat seperti Cu, PB, Hg, Zn, Cr, Cd, Mn, Ag, arsenikum
dan beryllium. Buangan industry dan limbah pertambangan merupakan sumber utama
polutan logam berat, meskipun seringkali keracunan logam berat berlangsung
akibat prose salami. Penentuan kadar aman maksimum untuk logam tertentu sulit
dilakukan karena memerlukan informasi tambahan seperti pH, keasaman,
alkalinitas karbonat, suhu, oksigen terlarut, kehadiran ion logam lainnya,
lamanya terpapar, jenis hewan dan umur hewan.
Empat
logam berat yang paling intensif dipelajari sifat toksisitasnya yaitu Cu, Hg,
Cd dan Zn. Logam berat merugikan ikan secara fisik dan fisiologik, sebagai
contoh yaitu Cd yang menyebabkan kerusakan vertebral, Zn dan Cu yang
menyebabkan stress respirasi karena merusak lamella sekunder pada insang..
b.
Non logam
Banyak
polutan non logam bersifat toksik terutama jika hadir dalam jumlah yang cukup
besar. Senyawa-senyawa tersebut antara lain ammonia, fluoride, sianida, fosfor,
sulfida, khlorin serta pestisida.
Organofosfat
merupakan salah satu pestisida yang umum digunakan dan diketahui memiliki
kemampuan menghambat aktivitas kholinesterase pada vertebrate termsuk ikan.
Ikan yang terpapar pada organofosfat akan mengalami gangguan fungsi saraf dan
dan berakibat kematian karena asfiksiasi.
c.
Air limbah
Akibat
limbah yang paling nyata yaitu penurunan kadar oksigen akibat proses
biodegradasi senyawa organik dalam limbah oleh mikroba. Kandungan senyawa
seperti fosfat, ammonia dan nitrat pada air limbah dapat merangsang terjadinya
algae bloom, selain itu air limbah juga potensial sebagai sumber polutan logam
berat, pestisida dan mungkin pula nitrit.
d.
Lumpur dan partikel
Lumpur
dan partikel secara umum akan menyebabkan beberapa kerugian bagi budidaya
perikanan maupun terhadap ikan-ikan liar karena:
1.
Secara langsung menyebabkan
kematian ikan, menurunkan laju pertumbuhannya atau menurunkan resistensinya
terhadap penyakit
2.
Menghambat perkembangan lanjut
telur sehingga dapat menyebabkan gagal menetas dan menghambat pertumbuhan
larvae
3.
Memodifikasi gerakan alami dan
migrasi ikan
4.
Menurunkan kemelimpahan pakan
(terutama pakan hidup) bagi ikan
Partikel-partikel
dalam air dapat mengganggu insang atau menyebabkan kerusakan insang sehingga
merangsang ikan untuk memproduksi mucus secara berlebih. Pada kasus yang berat,
ikan dapat mengalami kekurangan oksigen akibat insang tertutup oleh mucus dan
partikel lumpur.
Lumpur dapat menimbun telur ikan sehingga menghambat
respirasi telur dan menyebabkan telur gagal menetas. Kekeruhan akibat lumpur
dan partikel-partikel dalam air juga mempengaruhi tingkah laku ikan, misalnya
bahwa Barbus barbus menurun tingkat migrasinya manakala turbiditas air
meningkat, adapun Anguilla Anguilla akan melakukan migrasi manakala perairan
keruh (turbiditas tinggi) dan segera menurun intensitas migrasinya manakala
perairan kembali jernih.
e.
Minyak bumi
Ceceran
atau tumpahan minyak bumi dari proses produksi maupun pengangkutan dan
distribusi dapat mencemari perairan kolam serta badan air terbuka maupun
tertutup. Polusi pada perairan yang tidak memungkinkan terjadinya proses
pengenceran ataupun biodegradasi yang cepat, dapat berakibat toksik bagi
organism dan merugikan budidaya perikanan. Polutan bahan bakar atau minyak bumi
dapat menyebabkan penurunan kualitas produk karena ikan berbau minyak.
f.
Polutan panas
Peningkatan
suhu perairan dapat menguntungkan bagi ikan yaitu meningkatkan pertumbuhan
akibat meningkatnya laju metabolisme. Tetapi jika melebihi batas suhu optimal
bagi ikan, kerugian atau gangguan kesehatan yang akan muncul. Peningkatan suhu
perairan dapat sebagai akibat polutan yang bersifat memperangkap panas. Selain
itu peningkatan suhu perairan dapat meningkatkan toksisitas sejumlah polutan
karena solubilitas senyawa-senyawa polutan toksik meningkat akibat kenaikan
suhu.
g.
Polutan yang mempengaruhi rasa,
warna dan bau produk
Sejumlah
polutan dapat merugikan budidaya perairan akibat pengaruhnya terhadap rasa,
warna dan bau produk. Sejumlah mikroba seperti kelompok Actinomycetes dapat
menyebabkan ikan memiliki rasa dan bau lumpur atau tanah. Begitu pula polutan
dari industry seperti produk-produk minyak bumi, disinfektan fenolik, dan
buangan rumah tangga dapat menyebabkan baud an rasa yang tidak enak atau warna
yang tidak menarik sehingga produk perikanan kurang disukai konsumen.
C.
FAKTOR BIOLOGI
1.
Hewan Perairan
Sebagian
besar air permukaan memiliki beragam spesies ikan dan hewan perairan lainnya
yang dapat berperan sebagai reservoir bagi penyakit-penyakit infeksi. Dapat
pula hewan-hewan air, misalnya moluska dan krustasea, berperan sebagai inang
antara bagi salah satu tahapan siklus hidup parasit. Kehadiran sejumlah spesies
predator atau competitor makanan dapat pula menjadi factor yang merugikan bagi
budidaya perikanan.
2.
Mikroba
Pada
kondisi yang menguntungkan, di lingkungan perairan dapat terjadi ledakan
populasi algae dan segera akan diikuti dengan melimpahnya bahan organik dari
sekresi maupun sel-sel algae yang lisis. Mikroba akan melakukan dekomposisi
bahan organik atau proses mineralisasi, dan mengakibatkan penurunan kadar
oksigen terlarut dengan cepat dan dapat berakibat badan air menjadi anoksik.
Pada saat mineralisasi, senyawa toksik seperti ammonia, nitrat dan H2S dapat
dibebaskan dan dapat menyebabkan kematian ikan maupun invertebrata.
BAB
III. SISTEM IMUN PADA IKAN
Ikan
seperti hewan pada umumnya, memiliki mekanisme pertahanan diri terhadap
pathogen. System pertahanan tersebut terdiri dari system pertahanan konstitutif
dan yang diinduksi (inducible). System pertahanan konstitutif menjalankan
perlindungan secara umum terhadap invasi flora normal, kolonisasi, infeksi dan penyakit
infeksi yang disebabkan oleh pathogen. System pertahanan konstitutif dikenal
pula sebagai system pertahanan innate (bawaan atau alami). Adapun system
pertahanan yang diinduksi atau dapatan (acquired), maka untuk berfungsi dengan
baik harus diinduksi antara lain dengan pemaparan pada pathogen atau
produk-produk yang berasal dari pathogen (misalnya vaksin). System pertahanan
yang diinduksi meliputi pula respon imun terhadap pathogen penyebab infeksi.
Ikan
merupakan rantai penghubung antara invertebrate dan vertebrate tingkat tinggi.
Meskipun system imun belum selengkap pada vertebrate tinggi tetapi jauh lebih
berkembang dibandingkan system imun pada invertebrate. Ikan memiliki kemampuan
respon imun humoral dan yang diperantarai sel (cell-mediated immune response).
Selain itu pada ikan sudah mulai terdapat respon imun spesifik terhadap antigen
(immunoglobulin). Selain itu organ limfoid (organ yang merespon antigen) serta
myeloid (organ penghasil darah) menjadi satu, yaitu pada ginjal untuk ikan
teleostei serta hati pada hagfish.
Pada
ikan, respon imun baru terbentuk sempurna manakala ikan sudah dewasa. Meskipun
pada larva atau ikan muda sudah terbentuk respon imun tetapi kerjanya kurang
efisien, sehingga rentan terhadap penyakit. Kemampuan imun, yang ditunjukkan
sebagai kehadiran antibody, pada ikan salmonid berkembang pada masa empat hari
setelah menetas. Meskipun demikian kompetensi imun alamiah sudah terbentuk
dalam masa dua belas hari sebelum menetas, atau bervariasi tergantung pada
suhu.
Pusat-pusat
melanomakrofag merupakan situs penyimpanan atau penimbunan pigmen. Juga menjadi
situs akumulasi lipofuchsin yang dibentuk dari hasil oksidasi lemak-lemak tidak
jenuh, pada ikan lipofuchsin tinggi karena diperlukan untuk menjaga fluiditas
membrane pada suhu rendah. Kemelimpahan melanin di dalam ginjal salmon
berfungsi untuk menetralisasi radikal bebas. Adapun hemosiderin yang merupakan
produk samping degradasi haemoglobin akan meningkatkan jumlahnya di dalam limpa
ketika ikan mengalami kondisi lapar.
Pada
ikan teleostei timus dan limpa telah berkembang sempurna sehingga limfosit T
siap untuk bekerja jika ada antigen yang masuk. Meskipun demikian, organ-organ
tersebut belum terdiferensiasi sempurna, antara lain korteks dan medulla belum
dapat dibedakan. Pada ikan teleostei, limpa dibedakan dalam jaringan merah dan
putih sebagai situs interaksi dan respon antigen-limfosit.
Pathogen
harus dapat menembus system imun ikan untuk dapat menimbulkan penyakit. Daya
tahan alami memungkinkan suatu hewan menjadi terbebas dari serangan pathogen
karena tidak adanya jaringan spesifik atau reseptor seluler bagi kolonisasi
pathogen, atau tidak mampu mendukung syarat-syarat optimum baik dari sisi
kecukupan nutrient maupun lingkungan bagi pertumbuhan pathogen. Selain itu pada
masing-masing individu hewan memiliki daya tahan individu yang ditentukan
antara lain oleh umur, jenis kelamin, status nutrient, dan ada tidaknya stress.
Saat ikan pada kondisi lemah dan pada kondisi lingkungan yang kurang
menguntungkan (misalnya air tercemar, masa pergantian musim, perubahan suhu
yang cepat), maka ikan menjadi rentan terhadap serangan pathogen.
Perbedaan
terbesar diantara mammalian dan teleostei, yaitu pada teleostei tidak ada nodus
limfatikus serta ontogeny leukosit, macam imunoglubulinnya tidak selengkap pada
mammalian, dan system imunnya sangat terpengaruh suhu karena sifat ikan yang
poikilotermal.
Ikan
teleostei tidak ada sumsum tulang, maka fungsi hematopoiesis tidak berlangsung
di dalam sumsum tulang. Leukosit dihasilkan di dalam timus dan ginjal. Secara
umum ginjal terdiri dari tiga bagian
yaitu ginjal anterion (ginjal kepala, head of kidney), bagian tengah dan
posterior. Ginjal anterior merupakan situs yang memiliki kapasitas
hematopoietic tertinggi tetapi memiliki fungsi renal yang terbatas. Organ-organ
limfoid sekunder meliputi limpa dan jaringan limfoid yang berasosiasi dengan
intestinum (gut-associated lymphoid tissue, GALT).
Pada
ikan teleostei, pada ginjal ditemukan adanya limfosit mirip sel T dan sel B
yang menunjukkan peran jaringan limfoid ginjal dalam mekanisma pertahanan
tubuh. Pada jaringan limfohematopoeitik ginjal teleostei ditemukan adanya
sel-sel pengikat antigen dan penghasil antibody. Pada ikan karper terdapat tiga
macam sel-sel positif immunoglobulin yaitu blastosit (balst cell), sel-sel
plasma tipe limfoid berukuran besar dan sel-sel tipe plasmasitoid.
System
imun bawaan antara lain terdiri dari penghalang fisik terhadap infeksi,
pertahanan humoral dan sel-sel fagositik. Teleostei memiliki sejumlah
penghalang fisik terhadap infeksi antara lain kulit dan mucus. Mucus memiliki
kemampuan menghambat kolonisasi mikroorganisma pada kulit, insang dan mukosa.
Mucus ikan mengandung immunoglobulin (IgM) alami, bukan sebagai respon dari
pemaparan terhadap antigen. Immunoglobulin (antibody) tersebut dapat
menghancurkan pathogen yang menginvasi.
Sisik
dan kulit merupakan pelindung fisik yang melindungi ikan dari kemungkinan luka
dan penting dalam mengendalikan osmolaritas tubuh. Kerusakan sisik atau kulit
akan mempermudah pathogen menginfeksi inang.
Sejumlah
mikroba flora normal hewan dapat berperan dalam menghambat atau menghalangi
terjadinya infeksi melalui antagonism. Tiga mekanisma utama antagonism mikroba
flora normal terhadap pathogen yaitu kompetisi dalam menempati situs pelekatan atau kolonisasi, antagonism
spesifik melalui produksi senyawa penghambat berupa protein spesifik
(bakteriosin), dan antagonism non-spesifik dengan memproduksi berbagai
metabolit atau produk akhir yang menghambat mikroba pathogen antara lain berupa
asam-asam organik (misalnya asam laktat) dan peroksidase.
Meskipun
memiliki perlindungan fisik, antigen dapat masuk melalui permukaan epitel yang
rusak, insang (terutama sesudah terjadinya stress osmotic), organ linea
lateralis, dan saluran pencernaan. Jika pathogen telah masuk ke dalam tubuh
maka beragam respon pertahanan plasmatic akan menghadangnya, respon tersebut
berasal dari lisozim, komplemen, transferin, lektin, tripsin (di dalam lapisan
sel-sel epitel kulit, insang dan intestinum), macroglobulin, precipitin, serum
amyloid A (SAA), dan serum amyloid P (SAP). Akan tetapi ikan tidak memiliki
C-Reactive Protein (CRP), yang merupakan suatu protein fase akut (acute-phase
protein, APP) yang utama pada mammalian.
Mucus
selain pelindung fisik juga pelindung kimiawi karena mengandung lisozim,
komplemen, protein-protein komplemen dan protease mirip tripsin yang dapat
merusak sel-sel bakteri Gram-negatif. Lisozim dapat menghancurkan dinding sel
bakteri (peptidoglikan), komplemen akan menyerang pada lapisan ganda lipid
(lipid bilayer) pada dinding sel, protein reaktif-C mengaktivasi komplemen,
sedangkan anti protease-α akan menetralisasi eksotoksin.
Komplemen
berperan dalam:
1.
Memproduksi factor-faktor
inflamasi yang meliputi serum antimikroba dan leukosit pada situ infeksi
2.
Merangsang sel-sel fagosit
bergerak menuju situs infeksi (factor khemotaksis)
3.
Meningkatkan aktivitas
fagositik melalui peningkatan frekuensi pelekatan komponen kompleks
antigen-antibodi untuk melekat pada reseptor sel-sel yang diselubungi antibody,
4.
Melisiskan sel-sel bakteri
(menjadi perantara bagi lisozim) atau sel-sel yang terinfeksi virus melalui
pembentukan enzim fosfolipase yang merusak membrane sel-sel inang yang
mengandung antigen (misalnya akibat terinfeksi virus) atau membrane luar
bakteri Gram-negatif. Melalui mekanisma ini maka lisozim akan lebih mudah
mencapai peptidoglikan dan menghancurkannya.
Pertahanan
bawaan utama lainnya yaitu berupa sel-sel fagositik yang utamanya terdiri dari
monosit (precursor-prekursor makrofag), makrofag dan granulosit (leukosit
granular). Monosit mengalami sirkulasi sedangkan makrofag terikat pada
jaringan. Aktivitasnya antara lain yaitu opsonisasi antigen. Untuk menjalankan
aktivitasnya monosit memerlukan hadirnya reseptor Fc untuk mengikat antibody.
Granulosit pada mamalia tersusun atas neutrofil, eosinofil dan basofil. Pada
ikan teleostei, meskipun komponen granulosit sama tetapi asidofil dan basofil
jumlahnya sangat rendah dan tidak mengalami sirkulasi.
Sel-sel
fagosit akan mengenali dan menelan partikel-partikel antigenic, termasuk
bacteria dan sel-sel inang yang rusak melalui tiga tahapan proses yaitu
pelekatan, fagositosis dan pencernaan. Ketika mengalami aktivasi, makrofag
memiliki kapasitas fagositik lebih kuat dibandingkan granulosit, meskipun
granulosit berjumlah lebih besar dan mungkin merupakan komponen yang signifikan
dalam rangkaian pertahanan diri inang melalui proses fagositik.
BAB VI. STRES
Stres
yaitu suatu keadaan saat suatu hewan tidak mempu mengatur kondisi fisiologis
yang normal karena berbagai factor merugikan yang mempengaruhi kondisi
kesehatannya. Sehingga stress didefinisikan sebagai pengaruh segala bentuk
perubahan atau tantangan lingkungan yang mendorong homeostatic atau
proses-proses penyeimbang lainnya melebihi batas kemampuan normal segala
tingkatan organisasi biologis: spesies, populasi atau ekosistem. Suatu stimulus
yang menyebabkan timbulnya keadaan stress disebut sebagai stressor atau factor
stress. Sejumlah contoh keadaan yang dapat berperan sebagai stressor
ditunjukkan sebagai berikut:
1.
Stressor kimiawi:
a.
Kualitas air buruk: oksigen
terlarut rendah, pH tidak sesuai
b.
Polusi: akibat penggunaan bahan
kimiawi pada kegiatan akuakultur, polutan dari luar
c.
Komposisi pakan
d.
Senyawa nitrogen dan sisa
metabolism (akumulasi ammonia dan nitrit)
2.
Stressor fisik:
a.
Suhu lebih tinggi atau lebih
rendah dari normal
b.
Cahaya berlebih atau kurang
c.
Suara
d.
Gas-gas terlarut
3.
Stressor biologis:
a.
Densitas populasi terlalu
tinggi
b.
Multikultur: ada
spesies-spesies yang agresif, persaingan tempat
c.
Mikroba: kehadiran mikroba
patogenik dan non patogenik
d.
Parasit: internal dan eksternal
4.
Stressor procedural:
a.
Penanganan
b.
Pengiriman/transportasi
c.
Penanganan penyakit
Sebagai
bentuk usaha ikan dalam menyesuaikan diri terhadap gangguan yang ada, maka ikan
akan menggunakan seluruh energy cadangan, pada saat tersebut ikan tetap mempu
bertahan terhadap gangguan yang ada. Jika gangguan tersebut terus berlangsung
atau terlalu berat, energy cadangan menjadi habis dan ikan menjadi lemah untuk
menghadapi agensia patogenik yang secara berkelanjutan kontak dengan ikan (pada
dasarnya hamper keseluruhan agensia patogenik ikan merupakan flora normal
perairan), sehingga berakibat ikan menjadi sakit atau mati.
Respon
ikan terhadap stress mirip dengan respon pada vertebrate tingkat tinggi, secara
umum dapat dibagi menjadi tiga tahapan:
1.
Respon primer berupa nervous
(gelisah) dan perubahan hormonal, antara lain berupa peningkatan
kortikostreroid dan katekholamin serta perubahan aktivitas neurotransmitter.
2.
Respon sekunder antara lain
berupa perubahan metabolic, seluler, gangguan osmoregulasi, perubahan gambaran
darah dan fungsi imun
3.
Respon tersier berlangsung pada
individu dan populasi, dikatakan pula sebagai tahap parah. Pada tahap ini
individu ikan meningkat metabolismanya, menurun resistensinya terhadap
penyakit, tingkat kesuburan rendah, daya tetas telur rendah dan perubahan
tingkah laku. Pada tingkat populasi terjadi penurunan diversitas spesies.
Akibat
stress maka terjadi sekresi hormone-hormon dari glandula adrenalin yang
menyebabkan meningkatnya gula darah. Cadangan atau timbunan gula berupa
glikogen dalam hati akan mengalami metabolisasi menjadi cadangan energy bagi
hewan untuk aktivitas darurat. Akibat sekresi hormone-hormon yang berlebihan
tersebut respon inflamasi (inflammatory response) akan tertekan.
Osmoregulasi mengalami gangguan akibat perubahan
fisiologis dalam metabolism mineral. Terjadi terjadi perubahan kesetimbangan
mineral Cl, Na, dan air. Pada kondisis ini, ikan air tawar cenderung
mengabsorbsi air dari lingkungannya secara berlebihan, dan ikan air laut atau
air payau cenderung kehilangan massa air (dehidrasi), gangguan osmosis ini
menyebabkan kebutuhan energy meningkat karena diperlukan untuk menjaga
osmoregulasi agar berjalan normal.
Stress juga berakibat pada peningkatan respirasi dan
tekanan darah. Adapun cadangan sel-sel darah merah akan dibebaskan ke
sirkulasi. Pada kondisi ini maka sel-sel darah cenderung belum sempurna sebagai
akibatnya maka kemampuan haemoglobin dalam mengikat oksigen belum optimal, ikan
akan cenderung kekurangan oksigen.
Stres juga akan mempengaruhi factor perlindungan
alami ikan seperti mucus, sisik, kulit, lisozim, antibody dan reaksi inflamasi.
Pada dasarnya hewan mampu beradaptasi terhadap stress untuk jangka waktu yang
terbatas. Selama masa tersebut hewan akan tampak normal tetapi cadangan
energinya terus menyusut karena digunakan untuk menjaga aktivitas normal.
Stress berpengaruh terhadap system perlindungan tubuh
inang yaitu mucus. Segala bentuk stress akan menyebabkan perubahan-perubahan
kimiawi dalam mucus yang dapat menyebabkan penurunan efektivitasnya sebagai
pelindung kimiawi inang terhadap pathogen dan parasit. Stress akan mengganggu
keseimbangan elektrolit tubuh (Na, K dan Cl) sehingga menyebabkan penyerapan
air yang berlebihan atau dapat pula berupa kehilangan air (dehidrasi). Kondisi
stress menyebabkan tuntutan kerja mucus dalam mengatur osmoregulasi yang
efektif menjadi sangat penting.
Stress fisik yang disebabkan penanganan saat
pemindahan ikan, perawatan atau pemanenan dapat menyebabkan hilangnya mucus.
Sebagai akibatnya maka perlindungan kimiawi yang dilakukan mucus menjadi hilang
atau berkurang, fungsi osmoregulasi menurun, serta menurunkan lubrikasi tubuh
sehingga menyebabkan energy yang diperlukan ikan untuk berenang menjadi lebih
besar serta meningkatkan frekuensi infeksi oleh pathogen atau infestasi oleh
parasit akibat hilangnya sebagian dari pelindung tubuh.
Stress kimiawi, misalnya dari tindakan pengobatan
atau pencegahan penyakit dapat menyebabkan kerusakan mucus sehingga ikan
kehilangan salah satu system perlindungan tubuh, kehilangan fungsi
osmoregulasi, kehilangan pelicin tubuh (lubrikan) yang sangat diperlukan untuk
pergerakan di dalam air.
Sisik dan kulit merupakan bagian dari system
perlindungan fisik tubuh ikan. Pada umumnya kerusakan sisik dan kulit dapat terjadi
akibat penanganan (handling stress), kelebihan populasi, dan infestasi parasit.
Kelebihan populasi (overcrowded) atau multi kultur dapat menyebabkan trauma
akibat berkelahi disertai lepasnya sisik dan kerusakan kulit. Infestasi parasit
dapat pula menyebabkan gangguan berupa kerusakan insang, kulit, sirip serta
kehilangan sisik. Kerusakan pada sisik dan kulit akan mempermudah pathogen
menginvasi inang. Banyak kasus menunjukkan bahwa kematian ikan sebenarnya
akibat dari infeksi sekunder oleh bakteri sebagai kelanjutan infestasi parasit
yang berat dan berkibat pada kerusakan pelindung fisik tubuh seperti mucus,
kulit dan sisik.
Stress juga menyebabkan iritasi atau peradangan
(inflamasi). Karena stress akan menyebabkan perubahan hormonal dan berakibat
terhadap efektivitas respon inflamasi. Stress akibat suhu (terutama suhu
rendah) dapat secara total menghambat aktivitas killer cells system imun
sehingga mengeliminasi system pertahanan awal yang utama dalam menghambat
pathogen atau parasit. Suhu tinggi yang berlebihan juga bersifat sangat
merusak, meskipun dampak langsung peningkatan suhu terhadap system imun belum
diketahui.
Stress suhu terutama akibat penurunan suhu yang
tajam, sangat mengganggu kemampuan ikan dalam membebaskan antibody terhadap
pathogen secara cepat. Perlu waktu panjang untuk memproduksi antibody dalam
merespon pathogen yang menginvasi tubuh sehingga memungkinkan pathogen
berkembangbiak dan dengan mudah menyebabkan ikan menjadi sakit. Stress yang
berlangsung lama akan semakin menurunkan efektivitas system imun sehingga
kemungkinan timbulnya penyakit menjadi tinggi.
Pencegahan
terhadap stress dapat dilakukan melalui managemen yang baik, yaitu meliputi
menjaga kualitas air yang baik, nutrient yang baik dan sanitasi. Kualitas air
yang baik meliputi tindakan pencegahan akumulasi sisa-sisa bahan organik dan
limbah yang mengandung nitrogen, menjaga pH dan suhu pada kisaran yang
dibutuhkan oleh ikan dan menjaga oksigen terlarut pada konsentrasi sekurangnya
5 mg/liter. Kualitas air yang buruk merupakan stressor utama bagi budidaya
perikanan.
Pakan
dengan kualitas yang baik yaitu pakan yang memenuhi kebutuhan nutrient bagi
ikan. Masing-masing spesies ikan memiliki kebutuhan nutrient yang spesifik dan
berbeda antara spesies satu dengan spesies lainnya. Pakan yang diberi tambahan
diet berupa sayuran/hijauan dan pakan hidup merupakan salah satu usaha
penyediaan pakan yang seimbang, terutama untuk jenis-jenis ikan yang kebutuhan
nutriennya belum diketahui dengan baik.
Managemen
budidaya perikanan harus dirancang agar kemungkinan terjadinya stress seminimal
mungkin sehingga kemungkinan timbulnya wabah penyakit minimal. Apabila terjadi
wabah dan kematian ikan, maka harus diidentifikasi penyebabnya dan faktor yang
mungkin berperan. Pengendalian stressor, misalnya perbaikan kualitas air dan pengurangan
padat tebaran harus dilakukan bersama-sama dengan tindakan penanggulangan
penyakit.
PERMASALAHAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA PERIKANAN
Sakit
pada ikan yaitu suatu keadaan abnormal yang ditandai dengan penurunan kemampuan
ikan secara gradual dalam mempertahankan fungsi fisiologik normal. Timbulnya
sakit dapat akibat infeksi pathogen yang dapat berupa bakteri, virus, fungi
atau parasit. Sakit dapat pula akibat defisiensi atau malnutrisi.
Penyakit meliputi penyakit infeksi dan bukan infeksi.
Penyakit infeksi merupakan masalah utama, meliputi penyakit-penyakit yang
disebabkan oleh virus, bakteri, fungi dan parasit. Penyakit pada hewan perairan
dapat disebabkan oleh cacat genetis, cedera fisik, ketidakseimbangan nutrient,
pathogen dan polusi.
Dinamika infeksi, berat-ringannya penyakit serta
penularan penyakit dalam suatu populasi atau antara dua atau lebih populasi
ikan, serupa dengan yang terjadi pada hewan terestrial dan manusia. Akan
tertapi karena lingkungan air, maka dinamika penularan penyakit menjadi
berbeda, karena air akan memfasilitasi penyebaran agensia penyebab penyakit.
Wabah penyakit infeksius biasanya bersifat akut
dengan tingkat mortalitas yang tinggi dalam jangka waktu singkat, sub akut maupun
kronis dengan mortalitas berlangsung hingga beberapa minggu sejak munculnya
wabah.
Penularan patogen atau penyakit dari satu individu ke
individu lainnya dapat melalui dua cara yaitu penularan vertikal dan
horizontal. Penularan vertikal yaitu patogen ditularkan dari salah satu atau
kedua induknya ke anaknya melalui sel kelaminnya. Penularan horizontal meliputi
penularan patogen dari individu satu ke lainnya melalui kontak langsung, air,
udara atau hewan perantara.
Setiap individu hewan, meskipun dari spesies yang
sama memiliki ketahanan yang berbeda terhadap suatu infeksi. Hal tersebut
terjadi karena komposisi genetic yang berbeda atau karena individu tersebut
pernah terpapar pada pathogen tersebut sehingga membentuk imunitas terhadapnya.
Sebaliknya, suatu individu dapat menjadi rentan terhadap pathogen antara lain
karena kondisi nutrient yang buruk dan stress.
Penyakit infeksi menjadi ancaman utama keberhasilan
akuakultur. Pemeliharaan ikan dalam jumlah besar dan padat tebaran tinggi pada
area yang terbatas, menyebabkan kondisi lingkungan tersebut sangat mendukung
berkembangnya dan penyebaran penyakit infeksi. Kondisi dengan padat tebaran
tinggi akan menyebabkan ikan mudah stress sehingga menyebabkan ikan menjadi
mudah terserang penyakit. Selain itu, kualitas air, volume air dan alirannya
berpengaruh terhadap berkembangnya suatu penyakit. Populasi yang tinggi akan
mempermudah penularan karena meningkatnya kemungkinan kontak antara ikan yang
sakit dengan ikan yang sehat.
Meskipun sejumlah insiden wabah penyakit pada
perairan umum telah menyebabkan penurunan populasi sejumlah spesies ikan,
tetapi ancaman utama penurunan populasi atau musnahnya spesies ikan di alam
bebas dating dari over fishing dan polusi perairan.
Kehadiran parasit atau bakteri pathogen dalam air
kolam budidaya mungkin bersifat laten, tetapi karena sesuatu hal dapat terjadi
perubahan dari laten menjadi patogenik, antara lain karena adanya perubahan
dalam:
1.
Konsentrasi oksigen
2.
Konsentrasi karbon dioksida
3.
Ammonia
4.
Kandungan materi organik
5.
Populasi mikroba
Penyakit pada hewan
perairan dapat digolongkan dalam beberapa kategori yaitu:
1.
Penyakit sporadic, yaitu
penyakit yang terjadi secara sporadic dalam jumlah relative kecil dibandingkan
populasi keseluruhan
2.
Epizootic, yaitu wabah penyakit
menular yang berlangsung pada skala yang lebih besar dan berlangsung secara
temporer pada lingkup area geografis terbatas
3.
Panzootik, yaitu wabah penyakit
menular yang berlangsung pada skala yang lebih besar dan berlangsung pada
lingkup area geografis yang luas
4.
Enzootic, yaitu penyakit tetap
berlangsung atau mewabah kembali pada skala rendah pada area tertentu.
Pada dasarnya, ikan yang
sakit akan menunjukkan gejala-gejala klinis yang kasat mata yaitu:
1.
Tingkah laku
2.
Tanda eksternal tubuh:
a.
Perubahan warna (melanosis)
b.
Deformitas skeletal: antara
lain akibat polutan, lingkungan ekstrim saat fase telur, parasit, atau bakteri
(misalnya tutup insang tidak berkembang sempurna dapat disebabkan oleh infeksi
Flexibacter)
c.
Pembengkakan perut (dropsy):
disebabkan oleh infeksi bakteri, spring viraemia of carp virus (SVC).
d.
Kurus (emaciation): dapat
akibat malnutrisi, infeksi parasit dan bakteri, atau infeksi virus SVC
e.
Gerakan renang yang abnormal:
ektoparasit (Ichtyobodo, Trichodina, Chilodonella, Ichthyophthirius), factor lingkungan
f.
Tanda pada kulit berupa sisik
lepas, sisik meregang, pertumbuhan epidermal, tumor, hemoragis, borok, ada
ektoparasit, terdapat bercak putih atau hitam: sisik lepas dapat diakibatkan
oleh infeksi Myxosporea, adapun black spot menunjukkan adanya akumulasi
melanosit antara lain akibat infeksi metacercaria Digenea Apophallus.
g.
Tanda pada insang: pucat,
hemoragik, banyak mucus, lembar insang melekat satu dengan lainnya.
3.
Tanda-tanda internal, misalnya
hemoragik di sekeliling organ dalam, udema, pembesaran hati, pembesaran limpa.
PENYAKIT
VIRAL
Karena ukuran virus yang sangat kecil,
menyebabkan virus sulit dideteksi. Ada sejumlah teknik yang biasa digunakan
untuk identifikasi awal virus, yaitu:
1.
Menggunakan mikroskop electron
untuk memvisualisasi virus di dalam sel-sel jaringan.
2.
Menumbuhkan virus di
laboratorium menggunakan cell-lines, yaitu melakukan kultur sel jaringan ikan
di laboratorium (in vitro) pada media tertentu dan digunakan untuk menumbuhkan
virus. Karena sifat virus yang memiliki inang dan organ atau jaringan target
spesifik, maka untuk virus harus ditumbuhkan pada kultur sel dari jaringan dan
spesies ikan yang sesuai.
3.
Identifikasi virus menggunakan
teknik serologi, menggunakan serum dari hewan inang yang mengandung antibody
spesifik terhadap virus tertentu. Dengan demikian manakala virus kontak dengan
serum akan terjadi aglutinasi sebagai respon antibody terhadap antigen
4.
Menggunakan PCR dan sequencing
DNA
5.
Secara
imunositokimia/imunohistokimia
Akibat infeksi virus terhadap sel dapat
beragam, yaitu:
1.
Perubahan yang dapat pulih
kembali, yaitu muncul pembengkakan dan kekeruhan pada sel yang dapat dilihat
melalui pengamatan histologist.
2.
Perubahan yang tidak dapat
pulih kembali, biasanya menyebabkan kematian, peristiwa semacam ini disebut
efek sitofatik
3.
Pengaruh yang tidak mungkin
pulih kembali biasanya mengarah ke kerusakan atau hilangnya fungsi-fungsi
tertentu misalnya sekresi endokrin
4.
Transformasi menjadi suatu
keadaan neoplastik, misalnya Oncorhynchus masou virus
5.
Infeksi tetap, asam nukleat
virus mungkin telah terintegrasi ke dalam genom secara sporadic menginfeksi
sel-sel lain yang sehat, bereplikasi dan melepaskan virion-virion baru.
Akibat infeksi virus, pada pemeriksaan
histologist maka:
a.
Sel dan isi sel akan
menunjukkan karakter yang berbeda
b.
Akumulasi antigen mungkin
menyebabkan terbentuknya inclusion bodies
c.
Terjadi infuse dari dua atau
lebih sel membentuk giant cell berinti banyak atau sinsitium
Infeksi virus dapat muncul dalam beberapa
bentuk:
1.
Inang tidak menunjukkan gejala
klinis dan virus tereliminasi
2.
Tidak ada gejala klinis tetapi
infeksi tetap berlangsung
3.
Inang sakit dan mati
4.
Inang secara klinis sakit,
sembuh dan virus berhasil dieliminasi
5.
Inang dapat sembuh dari sakit
tetapi infeksi tetap berlangsung tanpa menunjukkan gejala klinis
0 komentar:
Posting Komentar